Look Back

Plot
"Fujino" dulunya adalah pusat perhatian di kelasnya yang ramai. Dengan kepribadian yang supel dan bakat membuat komik lucu, dia menjadi pembicaraan di koran sekolah. Ilustrasinya yang jenaka dan keterangannya yang menarik membawa tawa bagi teman-teman sekelasnya dan kekaguman bagi gurunya. Namun, hidupnya akan mengalami perubahan dramatis dengan kemunculan tiba-tiba seorang seniman berbakat dan penyendiri bernama Kyomoto. Kyomoto tidak seperti siapa pun yang pernah ditemui Fujino. Dengan sikap yang tenang dan ketertarikan pada seni rupa, dia menjadi misteri bagi teman-teman sekelasnya, yang melihatnya sebagai orang buangan. Namun, ketika guru mengumumkan bahwa Kyomoto akan bergabung dengan Fujino di koran kelas, persaingan yang tidak biasa muncul di antara keduanya. Karya seni Kyomoto yang indah memicu semangat persaingan dalam diri Fujino, yang sudah terbiasa menjadi bintang pertunjukan. Reaksi awal Fujino terhadap Kyomoto berakar pada kecemburuan. Dia sudah sangat terbiasa menjadi pusat perhatian di kelas sehingga kedatangan tiba-tiba seorang seniman saingan mengancam untuk merusak statusnya. Dia berharap Kyomoto menghilang begitu saja, memungkinkannya untuk melanjutkan peran normalnya sebagai bintang koran kelas. Namun, seiring berjalannya waktu, Fujino mulai menyadari sesuatu yang aneh tentang Kyomoto. Gadis itu tidak seperti siapa pun yang pernah dia temui sebelumnya – dia sangat bersemangat tentang seni dan tampaknya benar-benar senang menggambar. Apa yang dimulai sebagai rasa ingin tahu segera berkembang menjadi daya tarik penuh. Fujino mulai mengawasi Kyomoto dari jauh, mengamati cara tangan gadis itu bergerak dengan presisi dan tujuan saat dia menghidupkan karya seninya. Dia melihat cara mata Kyomoto berbinar dengan gembira saat dia mengerjakan kreasi terbarunya. Saat Fujino menyaksikan, dia mulai menyadari bahwa Kyomoto bukan hanya seorang seniman berbakat tetapi seseorang yang berbagi hasratnya sendiri untuk menggambar. Serangkaian peristiwa mengubah dinamika di antara kedua gadis itu. Suatu hari, saat menjelajahi ruang seni sekolah, Fujino menemukan Kyomoto, yang sedang bereksperimen dengan karya cat air yang rumit. Gadis itu benar-benar tenggelam dalam pekerjaannya, tidak menyadari kehadiran Fujino. Saat Fujino menyaksikan, terpesona oleh keindahan seni Kyomoto, gadis itu tiba-tiba mendongak dan menangkapnya sedang menatap. Untuk sesaat, mereka hanya bertatapan, dan Fujino merasakan gelombang rasa malu menyelimutinya. Kyomoto, merasakan rasa ingin tahu Fujino, memberanikan diri keluar dari zona nyamannya dan mendekatinya. "Mau lihat bagaimana aku melakukannya?" tanyanya ragu. Fujino, tertarik, mengangguk setuju. Saat mereka duduk bersama, Kyomoto berbisik, "Aku melakukan ini untuk bersantai. Aku merasa paling tenang saat menggambar." Fujino, yang selalu menjadi pusat perhatian, merasakan sedikit rasa iri. Mungkinkah kebahagiaan sejati Kyomoto terletak bukan pada menggambar untuk orang lain tetapi untuk dirinya sendiri? Seiring berjalannya waktu, Fujino dan Kyomoto semakin dekat. Mereka mulai mengerjakan proyek seni bersama, dengan Fujino belajar dari keahlian dan kesabaran Kyomoto. Sesi menggambar mereka berubah menjadi diskusi tentang seni, kehidupan, dan segala sesuatu di antaranya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Fujino merasa seperti memiliki seseorang yang benar-benar memahaminya. Kecemburuannya berubah menjadi kekaguman, dan semangat persaingan mereka berubah menjadi persahabatan yang melampaui batas persaingan belaka. Ikatan mereka semakin dalam, dan dengan itu, ekspresi artistik mereka menjadi lebih halus dan bermakna. Mereka menerapkan persahabatan baru mereka untuk pekerjaan mereka di koran sekolah, dengan humor Fujino sekarang dilengkapi oleh kedalaman dan kepekaan Kyomoto. Saat mereka bekerja bersama, Fujino menyadari bahwa ada lebih banyak hal dalam hidup daripada hanya menjadi pusat perhatian. Dia belajar nilai berbagi hasratnya dengan seseorang yang benar-benar menghargainya apa adanya, bukan hanya karena prestasinya. Pada akhirnya, koran sekolah bukan lagi hanya platform untuk ilustrasi Fujino tetapi bukti pertumbuhan dan persahabatannya dengan Kyomoto. Saat mereka lulus, Fujino melihat kembali sesi menggambar mereka yang tak terhitung jumlahnya, tersenyum penuh arti. Momen kebersamaan itulah yang membantunya memahami tujuan hidupnya yang sebenarnya – untuk menciptakan seni yang menyatukan orang, bukan hanya untuk memamerkan kehebatannya sendiri sebagai seorang seniman. Kehadiran Kyomoto yang tenang telah mengubah pandangan Fujino tentang kehidupan, dan saat mereka berpisah, mereka berdua tahu bahwa ikatan yang mereka jalin di koran kelas akan selamanya tak terpatahkan.
Ulasan
Lena
Those days are like a spent firework, with memories tugging at me.
Lydia
Even without reading the original manga, it's clear this is a largely faithful adaptation, though nothing particularly outstanding. After the screening, a lovely elderly Dutch couple stopped me to ask if the film's message was about not being too jealous of others. While internally shocked, it also made me realize that Westerners, with their strong sense of individuality, might genuinely struggle to grasp the limitless bonds between people so often depicted in Japanese manga.
Michaela
Every aspiring student sees it in the thick notebooks; every lover sees it in the strolls hand-in-hand; everyone seeking recognition sees it in the old clothes bearing your name.
Astrid
During the scene about the art student struggling to find a job, an audience member angrily shouted, "What's so funny?".
Adrian
Sometimes in life, it's that first audience that keeps us going.
Rekomendasi
