Love, Simon

Love, Simon

Plot

Di kota pinggiran kota Westport, Connecticut, yang kuno, Simon Spier yang berusia 17 tahun menavigasi seluk-beluk sekolah menengah atas, berusaha mempertahankan anonimitasnya sambil bergumul dengan identitasnya sendiri. Siswa yang pendiam dan introvert ini menyembunyikan jati dirinya yang sebenarnya dari keluarga dan teman-temannya, karena takut mengungkap rahasianya. Tekanan konformitas dan harapan dari orang-orang di sekitarnya mengancam untuk membanjiri keinginan Simon untuk hidup otentik. Simon menemukan penghiburan di blog online anonim, tempat ia memposting tentang hidupnya dan perasaannya pada teman sekelas anonim, yang hanya dikenal dengan aliasnya "Blue." Blog tersebut, yang disamarkan dengan cerdik sebagai cerita fiksi, telah menjadi orang kepercayaan bagi Simon, tempat ia dapat berbagi harapan dan mimpinya tanpa takut dihakimi. Di antara ribuan pembaca yang mengikuti blog Simon, satu orang berbagi pengalaman serupa: seorang sesama siswa sekolah menengah atas, yang juga membuat alias anonim di platform. Seiring pertumbuhan kehadiran online Simon, demikian pula hubungannya dengan Blue. Melalui serangkaian email, mereka berbagi keinginan, ketakutan, dan aspirasi terdalam mereka satu sama lain. Hubungan online mereka berkembang, dan Simon menjadi terobsesi untuk mengungkap identitas asli Blue. Setiap hari yang berlalu, ketertarikan Simon pada Blue semakin kuat, tetapi risiko ketahuan di rumah sangat membebani pikirannya. Saat Simon menavigasi kehidupan ganda persona online-nya dan dirinya yang sebenarnya, dia mulai mengembangkan ikatan yang erat dengan guru bahasa Inggrisnya, Ms. Albright, yang menjadi orang kepercayaan untuk identitas aslinya. Namun, ketegangan muncul ketika sahabatnya, Leah, mulai menyelidiki aktivitas online Simon, mengancam untuk mengungkap rahasianya. Sementara itu, cinta Simon untuk Blue mencapai ketinggian baru ketika Blue mengusulkan pertemuan langsung. Dengan jantung berdebar kencang dan telapak tangan berkeringat, Simon harus menghadapi risiko dan konsekuensi bertemu dengan orang yang dicintainya secara online. Dalam serangkaian peristiwa yang mendebarkan, Simon dan Blue merencanakan pertemuan rahasia mereka, menavigasi kompleksitas menjadi gay secara terbuka di dunia di mana identitas seperti itu sering diselimuti kerahasiaan. Saat pertemuan приближается, kecemasan Simon mencapai titik didih. Antisipasi untuk akhirnya bertemu dengan orang yang terhubung dengannya secara online menciptakan rasa ketidakpastian yang pahit. Apakah diri Simon yang sebenarnya cocok dengan persona anonim yang telah dia buat secara online? Apakah Blue akan menerima Simon yang sebenarnya, atau apakah anonimitas blog sudah cukup untuk menjaga hubungan mereka tetap hidup? Pertemuan mereka menandai titik balik dalam kehidupan Simon dan Blue. Saat mereka akhirnya berbagi pertemuan tatap muka, Simon dihadapkan pada kemungkinan bahwa cinta yang dia alami secara online mungkin tidak diterjemahkan ke dunia nyata. Dalam konfrontasi yang pedih, ketegangan antara anonimitas dan autentisitas muncul ke permukaan, saat Simon menemukan identitas sebenarnya dari Blue dan bergulat dengan kompleksitas cinta, penerimaan, dan kepemilikan. Sepanjang film, sutradara Greg Berlanti dengan terampil menjalin narasi, menyeimbangkan humor ringan dan kecerdasan dunia batin Simon dengan tema identitas, penemuan jati diri, dan perjuangan yang lebih dalam yang dihadapi oleh individu LGBTQ+. Dengan penampilan luar biasa dari para pemeran, "Love, Simon" menjadi film yang menghangatkan hati dan membuat perasaan nyaman yang mendorong pemirsa untuk merayakan keberanian dan ketahanan protagonisnya. Pada akhirnya, "Love, Simon" adalah eksplorasi pedih tentang pengalaman manusia, yang mengingatkan kita bahwa setiap orang berhak mendapatkan kisah cinta yang hebat, terlepas dari rintangan yang mungkin mereka hadapi. Saat Simon menavigasi tantangan identitasnya sendiri, film ini pada akhirnya menegaskan pentingnya autentisitas, پذیرایی, dan merangkul kompleksitas hati manusia.

Ulasan

C

Camille

Just caught the premiere, and honestly, the ending felt so predictable and cliché. But then I remember we're probably ages away from seeing a movie like this actually made in China. Gave it five stars for that reason alone.

Balas
6/19/2025, 3:24:43 PM
M

Molly

Correcting prejudice with prejudice. The script is too naive.

Balas
6/18/2025, 1:31:03 AM
R

Ryan

I fell for someone, maybe the Black boy sitting diagonally in front of me in class, the clerk in uniform at the Waffle House, or the blonde piano prodigy in the theater group. Or maybe I fell for no one in particular, but rather the safety of a turning signal, the comfort of a hoodie, the freedom at the top of the Ferris wheel, the sweet delight of an Oreo. I arrived at the highest point of the amusement park, like a clown waiting to be rescued. And then you appeared beside me, allowing me to encounter the most beautiful starlight in the deepest despair.

Balas
6/17/2025, 1:41:16 PM
S

Sawyer

If Blue turned out to be the quarterback, that would've been the perfect ending.

Balas
6/16/2025, 10:34:19 AM