Videodrome

Videodrome

Plot

Di masa depan dekat yang distopia, dunia televisi telah menjadi medan pertempuran untuk peringkat dan profitabilitas. Max Renn, presiden yang penuh perhitungan dan kejam dari saluran kabel beranggaran rendah yang dikenal sebagai Cinemavision, berjuang untuk tetap bertahan di industri yang penuh persaingan. Pemrograman salurannya adalah rawa iklan infomersial yang kotor, acara bincang-bincang basi, dan sensasionalisme murahan, yang ditujukan untuk menarik minat pemirsa yang paling rendah. Namun, prioritas Max berubah drastis ketika dia menyadari adanya program televisi yang sangat mengganggu yang dikenal sebagai "Videodrome." Videodrome, sebuah acara TV yang konon avant-garde dan provokatif dari balik Tirai Besi, telah membuat gelombang di industri ini dengan penggambaran penyiksaan, mutilasi, dan bentuk hukuman brutal lainnya yang gamblang dan tanpa kompromi. Max melihat peluang untuk memanfaatkan ketenaran program ini dan memesan kesepakatan untuk menyiarkan ulang Videodrome di salurannya. Alasannya sangat sederhana: dia percaya bahwa konten acara yang berlebihan akan menarik banyak penonton yang terpikat, sehingga meningkatkan peringkat dan pendapatan salurannya. Saat Max semakin terobsesi dengan Videodrome, dia mengundang pembawa acara yang karismatik, Nicki Brand, untuk mengikuti audisi untuk acara bincang-bincang baru di Cinemavision. Nicki adalah semua yang Max inginkan: seorang penampil yang sensual, penuh teka-teki, dan berbakat dengan semangat pemberontak. Namun, ketika Nicki menghilang setelah audisinya, Max terlempar ke dunia ketidakpastian dan paranoia. Terlepas dari skeptisisme awalnya, dia mulai menyelidiki hilangnya Nicki dan segera menemukan bahwa ada sesuatu yang sangat salah dengan Videodrome. Saat Max menggali lebih dalam misteri tersebut, dia mulai mengungkap konspirasi jahat yang mengancam akan menghancurkan seluruh pandangan dunianya. Petunjuk pertama yang menunjukkan bahwa Videodrome mungkin tidak sesingkat yang dia kira datang ketika Max bertemu dengan seorang eksekutif yang penuh teka-teki dan jahat bernama Barry Convex, yang tampaknya terlibat dalam produksi Videodrome. Convex menampilkan dirinya sebagai pengusaha yang kejam dan licik dengan pemahaman yang mendalam tentang sisi gelap sifat manusia. Investigasi lebih lanjut membawa Max ke rumah mogul elektronik yang penuh teka-teki dan tertutup, kenalan baru Max membawanya untuk bertemu dengan eksekutif televisi yang penuh teka-teki, Barry Convex, hanya untuk mengetahui bahwa Convex hanyalah seorang perantara. Dia segera mengungkap sosok yang lebih jahat yang dikenal sebagai Profesor O'Blivion, seorang pertapa yang menciptakan Videodrome dan menggunakannya sebagai sarana untuk manipulasi psikologis dan eksperimen sosial. Dunia Videodrome adalah alam yang bengkok dan mengerikan di mana batas-batas antara kenyataan dan fantasi dikaburkan. Saat Max semakin terlibat dengan Profesor O'Blivion, dia mulai menyadari bahwa dia terjebak dalam labirin konspirasi, penipuan, dan permainan psikologis. Semakin Max belajar tentang Videodrome, semakin cengkeramannya pada kenyataan mulai lepas. Investigasinya tentang kebenaran di balik acara tersebut membawanya ke dunia kengerian yang membengkokkan pikiran dan pengalaman surealis, di mana tidak ada yang seperti yang terlihat. Sepanjang perjalanannya, Max dipaksa untuk menghadapi kebangkrutan moralnya sendiri dan kedalaman gelap sifat manusia. Dia bergulat dengan gagasan bahwa garis antara kenyataan dan fiksi terus bergeser dan bahwa kengerian yang sebenarnya tidak terletak pada apa pun yang dia lihat, tetapi dalam jurang psiknya sendiri. Penjelajahan film tentang dampak kekerasan dan teknologi pada masyarakat menjadi semakin meresahkan, karena penyelidikan Max mengungkap tujuan sebenarnya dari Videodrome: untuk memanipulasi, mengendalikan, dan merusak. Dalam babak final klimaks, Max menemukan bahwa Videodrome bukan hanya program televisi, tetapi alat untuk menyiarkan gambar yang dapat menembus jiwa pemirsa dan memanipulasi ketakutan dan keinginan terdalam mereka. Tujuan utama Profesor O'Blivion adalah untuk menciptakan jenis pemirsa baru, yang mampu menahan bentuk kebrutalan psikologis dan fisik yang paling ekstrem. Saat tirai menutup dunia Videodrome, Max dibiarkan hancur dan patah, dipaksa untuk menghadapi jurang yang terletak di dalam dirinya. Akhir film ini sengaja dibuat ambigu, membuat penonton merenungkan sejauh mana kewarasan Max dan sifat sebenarnya dari Videodrome. Apakah itu produk dari pikiran yang sakit dan terganggu, atau upaya tulus untuk menjelajahi relung tergelap dari kesadaran manusia? Apa pun kebenarannya, Videodrome tetap menjadi karya fiksi ilmiah yang menggugah pikiran dan meresahkan, sebuah kisah peringatan yang memperingatkan tentang bahaya kemajuan teknologi yang tidak terkendali dan pengaruh kekuasaan yang merusak.

Videodrome screenshot 1
Videodrome screenshot 2
Videodrome screenshot 3

Ulasan

A

Astrid

The final scene should have burst through the screen, splattering viscera all over my face. Thankfully, it didn't, because I was watching it on a computer, not a TV. False alarm.

Balas
6/20/2025, 2:17:45 PM
A

Aurora

1. To manufacture images, to sell images, and to ultimately become part of the image itself. David Cronenberg's radical exploration of the videotape culture prevalent in the 80s, and the violence and desire inherent in the medium itself. 2. Sex, violence, S&M, the bizarre, pleasure, death – the film portrays the intrusion of images on individuals almost like a cult's proselytization. "Licking the screen," a pulsating television, videotapes – the allure of images; the body opened up by fantasy, the "gun + human" fusion – the invasion of images. The screen constructs fantasy, fantasy is desire, people indulge in desire, and then become part of that desire. (It makes you think of Sadako crawling out of the TV, and the image...)

Balas
6/18/2025, 1:19:45 AM
C

Camille

The ideas and perspectives are truly ahead of their time; the core argument being that visual media, mass entertainment, manipulates human consciousness and even life and death. However, the film's special effects and plot development are excessively bizarre, leading to a disconnect between the concepts and the narrative structure. The latter half of the film is entirely self-indulgent, offering nothing beyond sensationalism. Today, mass media has long become a tool for manipulating public opinion, from ideology to advertising endorsements. Humanity has been conditioned into slaves of 4A advertising agencies and "official fact-checkers," which is far more efficient than whips and guns.

Balas
6/17/2025, 1:28:30 PM
S

Sophia

[B] Interesting ideas, though the didacticism is a bit heavy-handed. Cronenberg's films can sometimes be emetic, not just because of the visual grossness, but because something about the way they're filmed just feels...wrong.

Balas
6/16/2025, 10:21:23 AM
P

Paisley

Cronenberg at his most bizarre and terrifying. 1. A prescient reflection on violent imagery, foreshadowing \[Tetsuo: The Iron Man] and \[Tesis]. 2. Visceral and impactful gore effects, exploring human mutation and the corporealization of the image: the "hand" gun + the vaginal slit in the abdomen + the TV set quivering with orgasmic moans. 3. The inextricable blurring of reality and illusion underscores the manipulative power of mass media, calling to mind McLuhan. 4. James Woods's character name, "Max," evokes \[Once Upon a Time in America]. 5. A surging current of S&M desire, tinged with a fetishistic Orientalism. (9.0/10)

Balas
6/11/2025, 2:15:23 PM