Brain on Fire

Plot
Dalam drama yang mencekam "Brain on Fire," Susannah Cahalan, seorang jurnalis muda berbakat dan ambisius, menjalani mimpinya di New York Post. Dedikasi dan etos kerjanya telah memberinya reputasi yang solid di antara rekan-rekan dan editornya, dan tampaknya tidak ada yang dapat menghentikan kenaikannya ke puncak profesinya. Namun, di balik permukaan fasadnya yang berprestasi tinggi, terdapat bom waktu ketidakstabilan mental yang mengancam akan menghancurkan semua yang telah dikerjakannya. Film dimulai dengan Susannah yang tenggelam dalam pekerjaannya, bekerja berjam-jam dan menulis cerita menarik yang menarik perhatian pembacanya. Pacarnya, Tommy, mendukung usahanya, tetapi juga tampak semakin tidak nyaman dengan jadwalnya yang padat. Saat Susannah terus memaksakan diri, dia mulai mengalami gejala aneh dan tidak dapat dijelaskan: dia melihat dan mendengar hal-hal yang tidak ada, dan perilakunya menjadi semakin tidak menentu dari hari ke hari. Awalnya, Susannah mencoba mengabaikan gejalanya sebagai stres biasa atau efek samping dari jadwal kerjanya yang padat. Namun, seiring episode menjadi lebih sering dan intens, dia mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang sangat salah. Kejang, delusi, dan halusinasi menjadi kejadian biasa, menyebabkan dia mempertanyakan kewarasannya sendiri dan dunia di sekitarnya. Seiring kondisi Susannah memburuk, hubungannya dengan orang-orang terdekatnya mulai rusak. Tommy, meskipun penuh kasih dan mendukung, bingung bagaimana menangani situasi tersebut, dan bahkan ibu Susannah, yang selalu menjadi sumber dukungan, menjadi semakin khawatir dan frustrasi. Editor Susannah, yang dulunya adalah seorang mentor dan sumber motivasi, sekarang tampak jauh dan meremehkan, mendesaknya untuk 'tahan banting' dan 'menerobos' masalahnya. Sementara itu, seorang ahli saraf muda, Dr. Souhel Najjar, yang bekerja di rumah sakit bergengsi di New York, ditugaskan untuk mendiagnosis dan mengobati serangkaian pasien yang penuh teka-teki. Salah satu pasien ini, seorang wanita muda yang koma dan sama sekali terputus dari kenyataan, tampaknya memiliki kesamaan yang mengganggu dengan gejala Susannah. Saat Dr. Najjar menggali lebih dalam kasus ini, dia menjadi semakin yakin bahwa wanita muda ini menderita kondisi langka dan misterius yang dikenal sebagai Ensefalitis Anti-NMDAR. Saat penyelidikan Dr. Najjar terungkap, dia mulai curiga bahwa Susannah mungkin menjadi korban penyakit langka yang sama. Namun, upayanya untuk mendiagnosis dan mengobati Susannah disambut dengan skeptisisme dan bahkan permusuhan dari beberapa tim medisnya, yang yakin bahwa dia hanyalah kasus gangguan 'psikologis'. Semakin parah gejala Susannah, semakin Dr. Najjar yakin bahwa waktu hampir habis untuk menyelamatkannya. Film ini mencapai klimaks yang memilukan saat kondisi Susannah mencapai titik kritis. Dia dirawat di rumah sakit, di mana Dr. Najjar akhirnya mengkonfirmasi diagnosisnya: Susannah menderita Ensefalitis Anti-NMDAR. Kondisinya sangat jarang sehingga hanya beberapa kasus yang telah didokumentasikan di seluruh dunia, dan prognosisnya suram. Tim Dr. Najjar harus bertindak cepat untuk memberikan pengobatan eksperimental yang dapat menyelamatkan nyawa Susannah, tetapi juga dapat memiliki efek samping yang tidak diinginkan yang dapat semakin memperumit kondisinya. Dalam adegan terakhir film, Susannah keluar dari komanya, pikirannya kabur dan bingung. Saat dia perlahan mendapatkan kembali keseimbangannya, dia mulai menyadari sejauh mana penyakitnya telah mengikis rasa diri dan hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya. Film berakhir dengan secercah harapan, saat Susannah memulai perjalanan panjang dan berat menuju pemulihan dan penyembuhan. Meskipun dia telah kehilangan statusnya sebagai bintang yang sedang naik daun di New York Post, dan hubungannya telah sangat tegang, Susannah bertekad untuk membangun kembali hidupnya dan menemukan tujuan baru, berbekal penghargaan baru atas kerapuhan dan keindahan pikirannya sendiri.
Ulasan
Rekomendasi
