MoviePass, Kehancuran Movie

Plot
MoviePass adalah ide revolusioner dalam industri film. Pada tahun 2010, Stacy Spikes, seorang mantan pengusaha dan pembuat film, mengonsep layanan berbasis langganan yang akan memberi pelanggan akses ke tiket film tanpa batas dengan biaya bulanan. Startup inovatif ini dengan cepat mendapatkan momentum dan popularitas, menarik investor dan pengguna dari seluruh dunia. Layanan ini diluncurkan pada tahun 2011, dengan fokus awal di New York City. Layanan ini memungkinkan pelanggan untuk menonton hingga satu film per hari, setiap hari dalam seminggu, di bioskop-bioskop yang berpartisipasi. Pengguna cukup mengunduh aplikasi MoviePass, memesan tiket mereka, dan menunjukkan ponsel mereka di loket bioskop. Layanan ini menawarkan kepada pengguna fleksibilitas dan kebebasan yang sangat besar untuk menonton semua film favorit mereka di bioskop. MoviePass awalnya membebankan biaya kepada pengguna sebesar $49 per bulan, yang membuat kehadiran di bioskop dapat diakses dan terjangkau bagi banyak orang. Namun, pada tahun 2017, perusahaan induk perusahaan, Helios and Matheson Analytics (HMA), memperkenalkan penurunan harga menjadi $9,95 per bulan. Pemangkasan harga yang drastis ini menyebabkan lonjakan besar dalam jumlah pelanggan, tumbuh dari 200.000 menjadi lebih dari 3 juta hanya dalam beberapa bulan. Namun, pertumbuhan eksponensial ini datang dengan harga yang mahal. Kerugian MoviePass meningkat karena perusahaan berjuang untuk mencapai titik impas. Terlepas dari penggalangan dana jutaan dan penjualan beberapa unit bisnis, situasi keuangan MoviePass tetap tidak pasti. Harga saham HMA anjlok lebih dari 70% karena kerugian MoviePass yang berkelanjutan. Perusahaan terus berkembang, menandatangani kesepakatan dengan jaringan bioskop terkemuka seperti AMC Theatres dan Regal Cinemas. Namun, perjanjian tersebut datang dengan batasan ketat pada ketersediaan tiket, memaksa perusahaan untuk menerapkan algoritma dan batasan pada penggunanya untuk mengelola alokasi tiket. Hal ini menyebabkan frustrasi dan kemarahan di antara pelanggan yang tidak lagi dijamin mendapat tiket. Saat bisnis terus runtuh, investor luar turun tangan untuk memberikan dukungan tetapi akhirnya gagal membalikkan keadaan. MoviePass dijual ke entitas baru, dan HMA memberhentikan ratusan karyawan. Perusahaan akhirnya ditutup pada tahun 2020, dan situs webnya menjadi gelap. Badan pengatur mulai memeriksa praktik MoviePass, mengutip kekhawatiran atas taktik bisnis anti-persaingan dan iklan palsu. Pelanggan mengajukan tuntutan hukum, menuduh perusahaan menyesatkan mereka dengan janji film tanpa batas. MoviePass mengklaim bahwa lonjakan pengguna disebabkan oleh kondisi pasar dan kebiasaan menonton film konsumen yang berkembang pesat. Kejatuhan MoviePass juga menimbulkan pertanyaan tentang model bisnisnya, dengan para kritikus menunjukkan harga perusahaan yang tidak berkelanjutan dan kurangnya kejelasan tentang ketersediaan tiket. Industri film juga menyuarakan kekhawatiran tentang ekspansi agresif layanan ini, menunjukkan bahwa pertumbuhan yang tiba-tiba memberi tekanan pada bioskop untuk menyediakan basis pengguna layanan yang besar dengan akses tiket. Jika melihat ke belakang, kebangkitan dan kejatuhan MoviePass yang sangat cepat merupakan pengingat yang menyadarkan tentang tantangan yang dihadapi oleh bisnis yang berusaha untuk mengganggu industri yang mapan. Sementara visi perusahaan untuk membuat kehadiran di bioskop lebih mudah diakses dan terjangkau patut dikagumi, pelaksanaannya terbukti cacat. Kisah MoviePass berfungsi sebagai kisah peringatan bagi pengusaha dan investor yang ingin mengganggu industri. Di era media sosial dan platform digital, kesuksesan seringkali bersifat sementara dan tunduk pada perubahan kondisi pasar. Perusahaan harus mudah beradaptasi, gesit, dan jujur kepada penggunanya. Pada akhirnya, kegagalan spektakuler MoviePass harus mengingatkan para pengusaha untuk mengevaluasi dengan cermat model bisnis dan strategi penetapan harga mereka sebelum mereka tumbuh dan gagal secara spektakuler.
Ulasan
