The Sound and the Fury

The Sound and the Fury

Plot

The Sound and the Fury, disutradarai oleh Francis Ford Coppola pada tahun 1959, adalah adaptasi yang pedih dan mencolok secara visual dari novel William Faulkner yang terhormat dengan judul yang sama. Berlatar di selatan yang dalam selama awal abad ke-20, film ini menyelidiki kehidupan yang rumit dan seringkali penuh gejolak dari saudara-saudara Compson, sebuah keluarga Selatan yang dulunya terkemuka yang kekayaannya mulai memudar. Melalui narasi non-linear yang menentang konvensi bercerita tradisional, film ini dengan mahir mengeksplorasi kompleksitas dinamika keluarga, kerusakan sosial, dan fragmentasi identitas. Ceritanya berkisar pada saudara-saudara Compson, terutama empat anak dari Benjamin dan Caroline Compson: Jason, Caddy, Quentin, dan Benjy. Jason, seorang individu yang dingin dan penuh perhitungan, terpaku untuk melestarikan nasib keluarga yang semakin berkurang melalui pragmatisme yang diperhitungkan. Sangat kontras, saudara perempuannya Caddy, seorang wanita muda yang memikat dan berjiwa bebas, berjuang untuk mendamaikan keinginannya akan kemerdekaan dengan batasan-batasan sosial yang dikenakan padanya oleh keluarganya dan norma-norma sosial yang kaku di Deep South. Sementara itu, Quentin, putra tertua, terlibat dalam siklus kekecewaan dan keputusasaan yang tragis. Pengejaran intelektualnya terhambat oleh situasi keluarga yang miskin, sementara kesehatan mentalnya sendiri mulai terurai di bawah beban perasaannya sendiri akan kegagalan. Melalui alur narasi Quentin, film ini menyelidiki jiwa seorang individu yang disiksa, seseorang yang menemukan hiburan dalam fantasi romantis dan keinginan yang ditakdirkan. Benjy, yang termuda dan paling rentan dari saudara-saudara itu, berfungsi sebagai simbol yang pedih dari disintegrasi keluarga secara bertahap. Sulih suara narasinya, disajikan secara non-linear dan terfragmentasi, memberikan jendela ke dunia di mana batasan antara masa lalu dan masa kini semakin kabur. Pengalaman Benjy ditandai dengan kebingungan, ketakutan, dan rasa terputus yang mengakar, saat ia berjuang untuk memahami dunia yang tampaknya dengan cepat lepas kendali. Melalui penggunaan penceritaan non-linear dan banyak alur narasi, film ini dengan mahir menangkap kompleksitas pengalaman manusia, menjalin permadani waktu, ingatan, dan persepsi. Penonton disajikan dengan banyak narasi terfragmentasi, masing-masing menawarkan perspektif unik tentang perjuangan keluarga Compson. Visual film ini sama mencoloknya, dengan Coppola menggunakan estetika hitam-putih yang khas untuk menangkap lanskap sepi rumah perkebunan Compson yang runtuh. Kerjaan kamera cair dan ekspresif, sering kali menggabungkan pengambilan panjang yang mencolok dan teknik pengeditan inovatif untuk menyampaikan fluiditas memori dan fragmentasi waktu. Adaptasi Coppola tentang The Sound and the Fury adalah epik yang luas dan eksplorasi kondisi manusia yang intim dan bernuansa psikologis. Dengan menyelidiki jalinan hubungan yang rumit dan narasi yang terfragmentasi yang mendefinisikan keluarga Compson, film ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang hakikat identitas, kerapuhan hubungan manusia, dan berlalunya waktu yang tak terhindarkan. Pada akhirnya, film ini adalah meditasi yang kuat dan menghantui tentang peluruhan aristokrasi Selatan yang dulunya membanggakan, serta konsekuensi dahsyat dari pergolakan sosial, ekonomi, dan budaya. Melalui teknik penceritaan yang inovatif dan visual yang menakjubkan, The Sound and the Fury tetap menjadi landmark sinematik, yang terus memikat penonton dengan penggambaran yang kaya tekstur dari sebuah keluarga yang tercabik-cabik oleh iblis pribadi mereka sendiri dan batasan masyarakat.

The Sound and the Fury screenshot 1
The Sound and the Fury screenshot 2

Ulasan